Home » » Makalah Pernikahan_mengarungi sebuah hubungan yang diridhoi Allah.

Makalah Pernikahan_mengarungi sebuah hubungan yang diridhoi Allah.

PERNIKAHAN

Disusun guna memenuhi Tugas
Mata kuliah :  Tafsir Ijtima’i
Dosen pengampu : Abdul Karim.SS,MA.






Disusun oleh :
1. Moh. Pujihono              :   312038
2. Mubdiatu’ ulya               :   312040

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN USHULUDDIN
PROGAM STUDI TAFSIR HADIST
TAHUN AKADEMIK 2014




I. PENDAHULUAN
Apabila kita berbicara tentang pernikahan maka dapatlah kita memandangnya dari dua buah sisi. Dimana  pernikahan merupakan sebuah perintah agama. Sedangkan di sisi lain adalah satu-satunya jalan penyaluran sexs yang disahkan oleh agama.dari sudut pandang ini, maka pada saat orang melakukan pernikahan pada saat yang bersamaan dia bukan saja memiliki keinginan untuk melakukan perintah agama, namun juga memiliki keinginan memenuhi kebutuhan biologis nya yang secara kodrat memang harus disalurkan.
Sebagaimana kebutuhan lain-nya dalam kehidupan ini, kebutuhan biologis sebenarnya juga harus dipenuhi. Agama islam juga telah menetapkan bahwa satu-satunya jalan untuk memenuhi kebutuhan biologis manusia adalah hanya dengan pernikahan, pernikahan merupakan satu hal yang sangat menarik jika kita lebih mencermati kandungan makna tentang masalah pernikahan ini. Di dalam al-Qur’an telah dijelaskan bahwa pernikahan ternyata juga dapat membawa kedamaian dalam hidup seseorang (litaskunu ilaiha). Ini berarti pernikahan sesungguhnya bukan hanya sekedar sebagai sarana penyaluran kebutuhan sex namun lebih dari itu pernikahan juga menjanjikan perdamaian hidup bagi manusia dimana setiap manusia dapat membangun surga dunia di dalamnya. Semua hal itu akan terjadi apabila pernikahan tersebut benar-benar di jalani dengan cara yang sesuai dengan jalur yang sudah ditetapkan islam.
Allah telah menciptakan lelaki dan perempuan sehingga mereka dapat berhubungan satu sama lain, sehingga mencintai, menghasilkan keturunan, serta hidup dalam kedamaian  yang sesuai dengan perintah Allah dan petunjuk Rasulallah SAW.
Islam mendorong manusia untuk membentuk keluarga. Islam mengajak manusia untuk membentuk keluarga, karena keluarga itu gambaran kecil dalam kehidupan stabil yang menjadi pemenuhan keinginan manusia, tanpa menghilangkan kebutuhannya.
Keluarga merupakan tempat fithroh yang sesuai dengan keinginan Allah bagi kehidupan manusia sejak keberadaan khalifah,
Dalam hal ini penulis mencoba menyajikan sebuah makalah tentang pernikahan untuk memenuhi tugas tafsir ijma’i, dan semoga bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi pembaca umumnya.
II. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana pengertian pernikahan?
2. Bagaimana dasar hukum pernikahan dan hukum-hukum pernikahan dalam   kehidupan?
3. Apa saja rukun-rukun pernikahan yang harus dipenuhi?
4. Apa saja syarat dari masing-masing rukun pernikahan?
5. Bagaimana hikmah pernikahan dalam realita kehidupan?
III. PEMBAHASAN
1. Pengertian Nikah
Secara bahasa nikah diartikan sebagai berkumpul, wathi, dan akad. Sedangkan secara istilah diartikan sebagai:
 عقد يتضمن ملك وطء بلفظ إنكاح أو تزويج أو معناهما
“Akad yang mengandung maksud untuk memiliki kesenangan wat’I dengan menggunakan lafadz nikah atau kawin atau yang semakna dengan keduanya”.
Perkawinan atau pernikahan dalam literatur fiqih berbahasa arab disebut dengan dua kata, yaitu nikah(إنكاح), dan zawaj(تزويج). Kedua kata ini yang terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam al-Qur’an dan hadits Nabi. Kata nakaha banyak terdapat dalam al-Qur’an dengan arti kawin, seperti dalam surat an-Nisa’ ayat 3:
                              
 “dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil ,Maka (kawinilah) seorang saja , atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.
Demikian pula banyak terdapat kata zawaja dalam al-Qur’an dalam arti kawin, seperti dalam surat al-Ahzab ayat 37:
           •         ••           •                     
“dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: "Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang kamu Menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi”
Secara arti kata nikah berarti bergabung(الضمّ), hubungan kelamin(الوطء), dan juga berarti akad. Adanya dua kemungkinan arti ini karena kata nikah yang terdapat dalam al-Qur’an memang mengandung dua arti tersebut. Kata nikah yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 230:
           
“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain.”
 Mengandung arti hubungan kelamin dan bukan hanya sekedar akad nikah karena ada petunjuk dari hadits Nabi bahwa setelah akad nikah dengan laki-laki kedua perempuan itu belum boleh dinikahi oleh mantan suaminya kecuali suami kedua telah merasakan nikmatnya hubungan kelamin dengan perempuan tersebut.
Sedangkan secara istilah pernikahan menurut Abu Hanifah adalah “aqad yang dikukuhkan  untuk memperoleh kenikmatan  dari seorang wanita, yang dilakukan dengan sengaja”.  Secara syara’  akad yang sudah mashur dan terdapat syarat dan rukun yang harus dipenuhi.
Madzhab Maliki, Pernikahan adalah “akad yang dilakukan untuk mendapatkan kenikmatan dari wanita” arti esensialnya disini adalah dengan aqad tersebut maka terhindarlah seseorang dari bahaya fitnah perbuatan Haram (Zina).
Sedangkan menurut penganut madzhab Imam Syafi’i berpendapat bahwa, yang dimaksud dari pernikahan itu sendiri yaitu “akad yang didalamnya menjamin diperbolehkannya persetubuhan antara kedua belah pihak .“
Menurut madzhab Imam Hambali adalah “akad yang didalamnya terdapat lafadh pernikahan secara jelas, agar diperbolehkan bercampur.
Setelah kita perhatikan dan kita telaah secara mendalam dari berbagai definisi pernikahan dari masing-masing lintas madzhab diatas jelas,  bahwa yang menjadi inti pokok dari perrnikahan itu adalah aqad(perjanjian).  Yaitu penyerahan dan penerimaan  antara orang tua calon mempelai wanita dengan calon mempelai pria. Penyerahan dan penerimaan tanggung jawab secara arti luas, telah terjadi pada saat Aqad nikah tersebut, disamping penghalalan bercampur keduanya sebagai suami-istri dan tentunya adanya pencataan yang legal pada negara.
Sedangkan pengertian perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam pada Bab II pasal 2 mengenai dasar–dasar perkawinan disebutkan: perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya adalah ibadah.  Dan pada pasal 4 disebutkan bahwa “Perkawinan adalah sah,  apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang– Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan.  Dan pada pasal 5 ayat 1 disebutkan: “ agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap perkawinan harus dicatat. Selanjutnya pada pasal 6 disebutkan pada ayat (1)“ untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan Pegawai Pencatatan Nikah”.(2)“perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatatan Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum “.
Bila kita teliti secara seksama pada berbagai definisi diatas tentang berbagai penafsiran dalam pernikahan (perkawinan), maka menurut hemat penulis berpendapat bahwa ada perbedaan pengertian mengenai pernikahan dan perkawinan meskipun tidak ada perbedaan yang prinsipil.  Secara garis besar, ada sebuah humor yang bisa di jadikan acuan yakni “ nikah itu berbedada dengan kawin, nikah itu pake urat, kalo kawin pake surat” humor ini sejalur dengan definisi perkawinan yang berdasarkan  Kompilasi Hukum Islam yang tertera diatas.
Walaupun  ada perbedaan pendapat tentang perumusan pengertian diatas, tetapi dari semua rumusan yang dikemukakan  ada  satu unsur yang merupakan kesamaan dari seluruh pendapat, yaitu  bahwa nikah itu merupakan suatu perjanjian perikatan antara seorang laki-laki dan seorang wanita. Perjanjian disini bukan sembarang perjanjian belaka sepertihalnya jual beli atau sewa menyewa. Tetapi  merupakan  perjanjian suci untuk membentuk keluarga antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Suci disini dilihat dari segi keagamaannya dari suatu perkawinan.
2. Dasar Hukum Pernikahan dalam Islam
Hukum-Hukum pernikahan Nikah disyariatkan oleh agama sejalan dengan hikmah manusia diciptakan oleh Allah yaitu kemakmuran dunia dengan jalan terpeliharanya keturunan manusia. Para ualama sependapat bahwa nikah itu disyariatkan oleh agama, perselisihan mereka diantaranya dalam hal hukum menikah.
Dalam masalah hukum menikah terdapat perselisihan pendapat dalam hukum Islam yang terbagi dalam tiga kelompok, yakni:
 Hukum menikah adalah wajib, karena perintah menikahkan dalam al-Qur’an surat an-Nisa ayat 3:
                                
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya),  Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil,  maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
Hukum menikah adalah sunnah, dengan berpegangan pada surat an-Nisa’ ayat 3 yang menunjukkan jalan halal untuk mendekati wanita itu ada dua cara: dengan jalan menikah atau dengan jalan tasarri yakni memiliki jariyah (budak perempuan). Ketentuan surat an-Nisa’ menyuruh untuk memilih antara tasarri dan menikah, oleh karena tasarri tidak wajib, maka ini menunjukkan bahwa menikah hukumnya tidak wajib. Menurut ushul fiqh, tidak ada pilihan antara wajib dan tidak wajib, karena yang dikatakan wajib itu suatu yang tidak dapat ditinggalkan, dengan demikian hukumnya adalah sunnah. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad dalam suatu riwayat.
Hukum menikah adalah mubah, dengan alasan firman Allah dalam an-Nisa’ ayat 3 adalah Allah menyerahkan kepada kita untuk memperoleh wanita dengan jalan menikah atau dengan tasarri yang menunjukkan kedua jalan itu sama derajatnya. Menurut Ijma’, tasarri hukumnya mubah, karena itu menikah hukumnya juga mubah (tidak sunnah) karena tidak ada pilihan antara sunnah dan mubah. Pendapat ini dipelopori oleh Imam Syafi’i.
3. Hukum-hukum pernikahan dalam kehidupan
Imam Syafi’i mengatakan bahwa nikah itu hukumnya jaiz atau mubah, atau bisa dikatakan bahwa seseorang itu boleh nikah juga boleh tidak nikah. Hukum jaiz tersebut dapat berkembang ke tingkat yang lebih tinggi yaitu wajib juga dapat pula menjadi haram. Dalam sistem hukum Syafi’iyah tidak menekankan hanya kepada kaidah hukum asalnya saja tetapi juga pada segi agama, sosial, moralnya, sesuai dengan jiwa syari’at Islam. Lebih lanjut kita tinjau hukum menikah dari kondisi perseorangan dengan berlandaskan pada kaidah ushul fiqh yang berbunyi: “Hukum itu beredar atau berganti-ganti menurut illatnya.”
Kaidah ini setelah diterapkan dalam hukum perkawinan, menghasilkan perubahan hukum yang didasarkan dari perbedaan illat.  pada tataran selanjutnya, hukum pernikahan sangat bergantung pula kepada keadaan orang yang bersangkutan, baik dari segi psikologis, materi maupun kesanggupannya memikul tanggung jawab. Bisa jadi, bagi seseorang pernikahan itu wajib. Dan, bisa jadi pula bagi orang lain hukumnya adalah mubah. Untuk lebih jelasnya, marilah kita bahas satu per satu hukum pernikahan.
1.    Wajib
Menikah hukumnya wajib bagi orang yang khawatir berbuat zina jika tidak melakukannya. Sebagaimana kita ketahui menikah adalah satu cara untuk menjaga kesucian diri. Maka jika tidak ada jalan lain untuk meraih kesucian itu, kecuali dengan menikah, maka menikah hukumnya adalah wajib bagi yang bersangkutan. Imam al-Qurthubi mengatakan,”orang yang mampu menikah, kemudian khawatir terhadap diri dan agamanya, dan itu tidak dapat dihilangkan kecuali dengan menikah, maka dia harus menikah”.
Bahkan, jika keadaan sudah darurat, dalam arti bahwa seseorang benar-benar terjerumus ke dalam perzinaan, maka menikah hukumnya wajib baginya, baik sudah siap secara materi maupun belum sama sekali.
Sementara itu Allah SWT. telah menjanjikan hamba-Nya yang fakir akan kaya dengan menikah, sebagaimana firman-Nya: QS Al-Nur : 32
                     
 “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian* diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika  mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (Pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.” (QS Al-Nur : 32)
الآيمى (Al-Ayaama) merupakan jamak dari lafadh أَيَّمٍ (ayyam) yaitu seseorang yang tidak mempunyai suami atau istri, baik dari laki-laki maupun perempuan.
Dalam buku lain dijelaskan, seandainya hasratnya untuk menikah sangat kuat, namun dia tidak memiliki kemampuan untuk menafkahi istrinya kelak, lalu dia terpaksa tidak melakukan pernikahan, hendaklah dia bersabar dan bersungguh-sungguh dalam upaya menjaga dirinya daripada terjerumus dalam perzinaan, seraya mengikuti petunjuk firman Allah SWT dalam surat Al-Nur : 33
    •     
 “Dan mereka yang tidak memiliki kemampuan untuk menikah, hendaklah menjaga kesucian dirinya, sampai Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.” (QS Al-Nur : 33)
2.    Sunnah
Pernikahan tidak menjadi wajib, namun sangat dianjurkan bagi siapa saja yang memiliki hasrat atau dorongan seksual untuk menikah dan memiliki kemampuan untuk melakukannya, walaupun merasa yakin akan kemampuannya mengendalikan dirinya sendiri, sehingga tidak khawatir akan terjerumus dalam perbuatan yang diharamkan Allah. Orang seperti ini, tetap dianjurkan untuk menikah, sebab bagaimanapun nikah adalah tetap lebih afdhal daripada mengkontrasikan diri secara total (ber-thakhalli) untuk beribadah.
Pernikahan itu disunahkan jika seseorang sudah mampu secara materi dan sehat jasmani, namun tidak ada kekhawatiran akan terjerumus ke dalam perzinaan. Ia masih memiliki filter untuk melindungi dirinya dari terjerembah ke dalam lembah kemaksiatan.
Jika dia mempunyai keinginan untuk menikah dengan niat memelihara diri atau mendapat keturunan, maka hukum menikah baginya adalah sunnah. Tetapi kalau dia tidak berkeinginan untuk menikah sedang dia ahli ibadah, maka lebih utama untuk tidak menikah. Jika dia bukan ahli ibadah, maka lebih utama baginya untuk menikah. Menurut Imam Ahmad dari suatu riwayat, sunah menikah bagi yang tidak berkeinginan untuk kawin walaupun tidak khawatir jatuh ke dalam perzinaan yang oleh karenanya menikah lebih utama dari ibadah-ibadah sunnah.
3.    Makruh
Jika seseorang laki-laki yang tidak mempunyai syahwat untuk menikahi seseorang perempuan, atau sebaliknya, sehingga tujuan pernikahan yang sebenarnya tidak akan tercapai, maka yang demikian itu hukumnya makruh. Misalnya seorang yang impoten. Sebagaimana kita ketahui, salah satu tujuan dari pernikahan adalah menjaga diri, sehingga ketika tujuan ini tidak tercapai, maka ada faedahnya segera menikah. Juga pada laki-laki yang sebetulnya tidak membutuhkan perkawinan, baik disebabkan tidak mampu memenuhi hak calon istri yang bersifat nafkah lahiriyah maupun yang tidah memiliki hasrat seksual, sementara si perempuan tidak terganggu dengan ketidakmampuan sang calon suami. Misalnya, karena perempuan itu kebetulan seorang yang kaya raya dan juga tidak memiliki hasrat kuat untuk melakukan hubungan seksual. Kurang disukainya perkawinan ini terutama apabila dapat mengakibatkan si laki-laki seperti itu meninggalkan kegiatannya dalam beribadah ataupun dalam menuntut ilmu yang biasanya dilakukan sebelum itu.
4.    Haram
Pernikahan menjadi haram bila bertujuan untuk menyakiti salah satu pihak, bukan demi menjalankan sunnah rasulallah Saw. Misalnya, ada seorang laki-laki yang mau menikahi seorang perempuan demi balas dendam atau sejenisnya. Ini hukumnya haram.
Masuk dalam kategori ini ketidakmampuan memberi nafkah atau menunaikan kewajiban yang lainnya.
Imam al-Qhurtubi mengatakan,”Jika seorang suami mengetahui bahwa dia tidak mampu untuk menafkahi istrinya, membayar mahar, atau menunaikan salah satu haknya, maka dia tidak boleh menikahinya sampai ia menjelaskan keadaan tersebut kepada istrinya. Begitu juga jika dia memiliki penyakit yang menyebabkan tidak bisa bersena-senang dengan istrinya, agar dia tidak merasa ditipu.”  Diantara penyakit-penyakit yang diderita laki-laki yang menyebabkan terhalangnya pernikahan ataupun termasuk dalam عيوب النّكاح  (aib-aib pernikahan) yang memberikan pilihan terhadap istri untuk melanjutkan atau menyudahi pernikahan antara lain: gila (الجنون), lipra atau kusta (الجذام) penyakit pada anggota badan berwarna merah kemudian menjadi hitam dan akhirnya rontok atau terputus dari anggota badan yang lain, belang (البرص), penyakit keputihan pada kulit yang menghilangkan darah pada kulit tersebut, putusnya dzakar (الجبّ), baik seluruhnya atau hanya sebagiannya saja sekiranya yang tersisa kurang dari panjangnya khasyafah, dan  impoten (العنّة).
5.    Mubah
Pernikahan menjadi mubah (yakni bersifat netral, boleh dikerjakan dan boleh juga ditinggalkan) apabila tidak ada dorongan atau hambatan untuk melakukannya ataupun meninggalkannya, sesuai dengan pandangan syari’at, seperti telah dijelaskan diatas. Adapun hukum pernikahan di Indonesia sama dengan hukum yang telah disebutkan di atas.
4.  Rukun-Rukun Pernikahan
Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut darisegi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan. Dalam suatu acara perkawinan umpamanya rukun dan syaratnya tidak boleh tertinggal, dalam arti perkawinan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap. Keduanya mengandung arti yang berbeda dari segi bahwa rukun itu adalah sesuatu yang berada di luarnya dan tidak merupakan unsurnya. Syarat itu ada yang berkaitan dengan rukun dalam arti syarat yang berlaku untuk setiap unsur yang menjadi rukun. Ada pula syarat itu berdiri sendiri dalam arti tidak merupakan kriteria dari unsur-unsur rukun.  Nikah  tidak sah jika tidak terpenuhinya beberapa perkara (syarat-ayarat dan rukun nikah), yaitu:
1.    Shighot (ijab qobul)
2.    Calon istri
3.    Calon suami
4.    Wali
5.    Dua orang saksi
Mahar yang harus ada di setiap perkawinan tidak termasuk ke dalam rukun, karena mahar tersebut tidak mesti disebut dalam akad perkawinan dan tidak mesti diserahkan pada waktu  akad itu berlangsung. Dengan demikian, mahar itu termasuk dalam syarat perkawinan.
5. Syarat dari Masing-Masing Rukun Pernikahan
UU perkawinan sama sekali tidak berbicara tentang rukun perkawinan. UU perkawinan hanya membicarakan syarat-syarat perkawinan, yang mana syarat-syarat tersebut lebih banyak berkenaan dengan unsur-unsur  atau rukun perkawinan. KHI secara jelas membicarakan rukun perkawinan sebagaimana yang terdapat dalam pasal 14, yang keseluruhan rukun tersebut mengikuti fiqh Syafi’i dengan tidak memasukkan mahar dan rukun.
a. Shighot (Ijab dan Qobul)
Adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan perkawinan dalam bentuk ijab dan qobul. Ulama sepakat menempatkan ijab qobul sebagai rukun perkawinan.  Akad ijab qabul merupakan rukun  yang paling menentukan dalam menjadikan sesuatu yang haram menjadi halal dan tidak sah suatu pernikahan tanpa ijab qabul.
b. Wali dalam Pernikahan
Wali secara umun adalah seseorang yang karena kedudukannya berwenang untuk bertindak terhadap dan atas nama orang lain. Dalam akad perkawinan wali itu adalah seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah.      
c. Macam-Macam Wali
1. Wali Nasab, yaitu wali yang berhubungan tali kekeluargaan dalam perempuan yang akan kawin. Dalam KHI pasal 21 dijelaskan bahwa, “Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dan kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita.”
2. Wali Hakim, yaitu orang yang menjadi wali dalam kedudukannya sebagai  hakim atau pengusaha.
Keberadaan seorang wali secara umum adalah suatu yang mesti dan tidak sah akad perkawinan yang tidak dilakukan oleh wali. Wali itu ditempatkan sebagai rukun dalam perkawinan menurut kesepakatan ulama secara prinsip. Dalam akad perkawinan itu sendiri wali dapat berkedudukan sebagai orang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dan dapat pula sebagai orang yang diminta persetujuannya untuk kelangsungan perkawinan tersebut.
6. Hikmah Pernikahan dalam Realita Kehidupan
Seseorang yang berfikir atas dorongan Islam dalam mewujudkan dan menginginkan berkeluarga, ia akan memperhatikan dengan penuh kejelasan dan mendapatkannya tanpa letih terhadap berbagai tugas terpenting dan tujuan keluarga menurut Islam.
Ada beberapa tujuan dari disyariatkan perkawinan atas umat Islam. Di antaranya adalah:
a.    Untuk mendapatkan anak keturunan yang sah untuk melanjutkan generasi yang akan datang. Hal ini terlihat dari isyarat surat an-Nisa’ ayat 1:
 ••               
 “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang menjadikan kamu dari diri yang satu daripadanya Allah menjadikan istri-istri; dan dari keduanya Allah menjadikan anak keturunan yang banyak, laki-laki dan perempuan.”
Keinginan untuk melanjutkan keturunan merupakan naluri umat manusia bahkan juga naluri bagi makhluk hidup yang diciptakan Allah. Untuk maksud itu Allah menciptakan bagi manusia nafsu syahwat yang dapat mendorongnya untuk mencari pasangan hidupnya untuk menyalurkan nafsu syahwat tersebut. Untuk memberi saluran yang sah dan legal bagi penyaluran nafsu syahwat tersebut adalah melalui lembaga perkawinan. Anak merupakan tujuan asal yang disandarkan dalam pernikahan. Maksudnya yaitu melanjutkan keturunan sekiranya dunia ini tidak sepi dari jenis-jenis manusia. Empat perkara dalam menghasilkan anak menjadi sebuah ibadah, yang kesemuanya menjadi asal dari kecintaan Allah  dalam pernikahan:Pertama,  sesuai dengan kecintaan Allah  dalam menghasilkan keturunan untuk melanjutkan generasi manusia. Kedua, mencari kesunahan Rosul dalam memperbanyak anak. Ketiga, mencari barokah doanya anak yang sholeh. Keempat, mencari syafaat dengan kematiannya anak yang masih kecil.
b.    Menjaga diri dari syetan
Kemampuan seksual yang diciptakan pada manusia, laki-laki dan perempuan untuk mencapai tujuan yang mulia yaitu berketurunan, memperbanyak anak dengan melanjutkann keturunan jenis manusia.
Benar, bahwa orang-orang islam melakukannya agar Allah memberkati keturunan yang dinantikan, namun nama Allah adalah nama yang paling suci, Ia akan memberi jawaban pada buah pikir orang Islam yang beriman yakni penyebutan nama Allah, pada kesempatan ini terdapat ketenangan bagi seorang muslim bahwa dia sedang mengerjakan amal yang bersih sehingga dia berhak menyebut nama Allah yang mulia.
Hubingan seksual yang diperintahkan antara suami dan istri dapat menjaga dirinya dari tipu daya syetan, melemahkan keberingasan, mencegah keburukan-keburukan syahwat, memelihara pandangan, dan menjaga kelamin. Dari faedah tersebut Rosulallah SAW. mengisyarahkan:
مَنْ نَكَحَ فَقَدْ حَصَنَ نِصْفَ دِيْنِهِ فَلْيَتَّقِ اللهَ فِي الشَّرْطِ الآخَرِ.
c.    Untuk mendapatkan keluarga bahagia yang penuh ketenangan hidup dan rasa kasih sayang. Hal ini terlihat dari firman Allah dalam surat al-Rum ayat 21:
            ••   •        
 “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”
Penyaluran nafsu syahwat untuk menjamin kelangsungan hidup umat manusia dapat saja ditempuh melalui jalur melalui jalur perkawinan; namun dalam mendapatkan ketenangan dalam hidup bersama suami istri itu mangkin di dapatkan kecuali melalui jalur perkawinan.
d.   Menghibur jiwa dan menenangkannya dengan bersama-sama
Sesungguhnya kenyamanan jiwa dan ketenangan dengan bersama-sama, mamandang dan bermain main, menyegarkan hati, dan menguatkannya untuk beribadah sebagai sesuatu yang di perintahkan.
Jiwa yang gelisah menjadi enggan pada kebenaran karena kebenaran bersebrangan dengan tabi’at nafsu. jika nafsu dibebabni secara terus menerus dengan paksaan pada suatu yang bersebrangan dengannya maka ia menjadi keras kepala dan kokoh. Jika nafsu disegarkan dengan kenikmatan pada waktu tertentu maka ia menjadi kuat dan bergairah.
IV. KESIMPULAN
1. Pengertian Nikah
Secara bahasa nikah diartikan sebagai berkumpul, wathi, dan akad. Sedangkan secara istilah diartikan sebagai, Akad yang mengandung maksud untuk memiliki kesenangan wat’i dengan menggunakan lafadz nikah atau kawin atau yang semakna dengan keduanya.
Menurut penganut madzhab Imam Syafi’i berpendapat bahwa, yang dimaksud dari pernikahan itu sendiri yaitu “akad yang didalamnya menjamin diperbolehkannya persetubuhan antara kedua belah pihak“.
Sedangkan pengertian perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam pada Bab II pasal 2 mengenai dasar–dasar perkawinan disebutkan: perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya adalah ibadah.
2. Hukum Pernikahan
1) Wajib. 2) Sunnah. 3)Makruh. 4) Haram. 5) Mubah
3. Rukun-Rukun Pernikahan
Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut darisegi hukum.
Adapun rukun-rukun nikah adalah:
1.    Shighot (ijab qobul)
2.    Calon istri
3.    Calon suami
4.    Wali
5.    Dua orang saksi
4. Wali dalam Pernikahan
Wali secara umun adalah seseorang yang karena kedudukannya berwenang untuk bertindak terhadap dan atas nama orang lain. Dalam akad perkawinan wali itu adalah seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah.
5.   Macam-Macam Wali
1) Wali Nasab, yaitu wali yang berhubungan tali kekeluargaan dalam perempuan yang akan kawin.
2) Wali Hakim, yaitu orang yang menjadi wali dalam kedudukannya sebagai  hakim atau pengusaha.
6.    Saksi
Para ahli fiqih sepakat bahwa pelaksanaan akad nikah hanya dihadiri oleh saksi-saksi. Karena kehadiran saksi-saksi merupakan rukun atau hakikat dari perkawinan itu sendiri.
7. Hikmah Pernikahan dalam Realita Kehidupan
a.    Untuk mendapatkan anak keturunan yang sah untuk melanjutkan generasi yang akan datang.
b.    Menjaga diri dari syetan.
c.    Untuk mendapatkan keluarga bahagia yang penuh ketenangan hidup dan rasa kasih sayang.
d.   Menghibur jiwa dan menenangkannya dengan bersama-sama
V. PENUTUP
Akhirnya, pemakalah mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah ikut membantu di dalam menyelesaikan makalah kami ini. Disamping itu, kritik dan saran dari mahasiswa serta dosen pengampu dan para pembaca sangat kami harapkan, demi kebaikan kita bersama terutama bagi pemakalah.

DAFTAR PUSTAKA
Prof.DR.Syarifuddin Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Figh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. (Jakarta: Kencana, 2006)
M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, (Jakarta: Siraja Prenada Media Grup, 2006),
Dr. Abd. Shomad, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syari’ah dalam Hukum Indonesia,(Jakarta: Kencana, 2010).
D.A. Pakih Sati, Lc, Panduan Lengkap Pernikahan: Fiqh Munakahat Terkini, (Jogjakarta: Bening, 2011),
Dr. Musthofa Dib al-Bagho, Tadzhib fi Adillati Matan al-Ghoyah Wa at-Taqrib, (Malang: MSAA, t. Th).
Muhammad Bagir, Fiqih Praktis II: Menurut Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Pendapat Para Ulama’, (Bandung: Karisma, 2008).

Muhammad Bin Qosim al-Ghozi, Fathu al-Qorib al-Mujib: Fi Syarhi Alfadzi al-Taqrib, ( Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 2003).

Dr. Ali Yusuf As-Subki. Fiqih Keluarga: Pedoman Berkembang dalam Islam. (Jakarta: AMZAH, 2010).

Imam Abi Hamid al-Ghozali, Ikhya’ Ulumu ad-Din Juz II, (Kairo: Dar el-Hadith, 2004).

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. Kumpulan makalah lengkap Ushuluddin TH.angkatan 2012 STAIN KUDUS - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger